Senin, 03 Mei 2010

cerita - menikah beda agama

Selama beberapa hari kemarin, gw dan keluarga dengan kendaraan pribadi pergi ke Bandung. Postingan ini antara semi curhat tapi juga semi serius (maksudnya curhat serius, hehehe), karena terdapat beberapa poin menarik hasil dari perjalanan kemaren. Ya anggep aja, oleh-oleh dari Bandung lah, hehehe.




Niat utama sebenarnya untuk silaturahmi. Teman dekat Bapak, lagi punya gawe mantu dan pestanya diadakan di Bandung. Yang menarik, cerita di balik pesta pernikahan ini, karena pasangan pengantennya adalah pasangan beda agama. Beberapa hari sebelum berangkat, sempet ‘mencuri’ dengar, bahwa pihak pengantin pria kemungkinan akan menikah tanpa dihadiri pihak keluarga, karena dicurigai pindah agama. Lha ya jelas saja, karena di undangan sangat bernuansa islami sedangkan dari nama pengantennya, sudah menimbulkan dugaan yang sangat kuat bahwa salah satu penganten berbeda agama.



Sudah begitu, antara Bapak dan teman Bapak ini, sempat timbul suasana tidak enak. Teman Bapak mencurigai adanya ‘islamisasi’. Yah, gw maklum banget lah dan juga sangat memahami keadaannya. Akhirnya Bapak memutuskan untuk pergi ke Bandung, untuk mendampingi putra temen Bapak ini.



Gw, demi mengetahui cerita ini, campur-campur perasaan gw. Satu, setelah membaca undangan pernikahan. Terbersit cahaya harapan tetapi sekaligus kecemasan. Kedua, membayangkan, jika yang terjadi nanti di Bandung adalah kondisi yang terburuk : penganten pria menikah tanpa didampingi siapapun dari pihak keluarga. Hati gw sempet hancur dan sedih, demi membayangkan hal tersebut. Terbayang jika hal tersebut menimpa gw.









Alhamdulillah, ternyata apa yang dibayangkan tidak terjadi. It ended well, thanks God, thanks God, thanks God. Sehari sebelum hari H, ternyata kami bisa bersilaturahmi dengan teman Bapak. Aku pribadi entah kenapa merasa lega, karena ternyata dari yang terlihat, pihak keluarga tidak menujukkan tanda-tanda negatif. Suasana pertemuan berlangsung akrab, mengharukan, seperti tidak terjadi apa-apa.







Keesokannya, aku kembali dilanda keharuan, sewaktu menghadiri resepsi. Sengaja kami tidak datang ke acara akad, karena alasan teknis. Jadi gw ga ngerti, apa yang sebenarnya terjadi. Toh, apakah pengantin pria pindah agama atau tidak, itu bukan urusan gw. Gw ga pengen ngerti. Gw Cuma pengen, acara berlangsung lancar dan berakhir baik.







Resepsi dilakukan dengan adat sunda komplet. Menarik, karena baru kali ini menyaksikan prosesi pernikahan adat Sunda secara lengkap. Jadi ada aki-aki, ada tari-tarian, dan bernuansa islami (pembacaan doa-doa). Kemudian tampak iring-iringan penganten. Wajah mereka berdua tampak sangat cerah. Diikuti keluarga masing-masing. Ketika tiba saatnya bagi para tamu bersalaman, saat itulah keharuanku tumpah. Menyaksikan teman Bapak a.k.a ayah penganten pria memeluk erat Bapak sambil bercucuran air mata dan suara bergetar mengucapkan terimakasih, sudah jauh-jauh datang dari Yogya ke Bandung hanya menghadiri pernikahan anaknya. Bapak tak mampu berkata apa-apa, hanya matanya aku lihat memerah dan berkaca-kaca menahan haru yang teramat sangat.







Aku, sebagai pasangan yang mengalami perbedaan agama, hatiku pun campur-campur dan serasa diiris-iris. Keluargaku menentang hubungan kami. Tetapi menyaksikan Bapak dan teman Bapak, aku jadi ingin tahu apa yang masing-masing pikirkan dan rasakan.







Entahlah, aku tidak berani mengartikan air mata yang mengalir itu sebagai air mata bahagia. Bisa saja air mata kesedihan, karena anaknya akhirnya harus menikah dengan gadis yang berbeda agama dan ‘terpaksa’ (???) mengikuti ritual pernikahan yang berbeda. Tetapi beliau tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah 9 tahun mereka bersama menunjukkan keteguhan hati mereka.



Kehilangan anak…. ????



Sedangkan air mata Bapak, apa artinya ??? Mungkinkah beliau juga bersedih hati, teringat putrinya yang bernasib hampir sama (berbeda agama) ?? Ataukah malah timbul harapan ???



Tahulah, kalian, bagaimana sikap mayoritas penduduk Indonesia mengenai agama itu…..



Tuhan, Gusti, aku pasrahkan semua kepadaMu.







Oleh-oleh yang kedua adalah mengenai pilkadal. Kebetulan sepanjang perjalanan dari Jogja lewat jalur selatan menuju Bandung, poster-poster kampanye pilkadal adalah pemandangan yang nyaris ga pernah absen.



Jogja sendiri tidak (belum) diadakan sistem pilkadal. Memang lagi seru-serunya dibahas, karena mayoritas rakyat Jogja tidak menghendaki pilkadal (dan hal tersebut juga berkaitan dengan status keistimewaan Yogyakarta). Tetapi menginjak Kulon Progo (kabupaten di barat Yogyakarta) ternyata ada salah satu kecamatan yang sedang kampanye pemilihan camat atau entah apa. Jadi melewati kecamatan tersebut, berjejer-jejer poster raksasa berisi foto-foto calon kepala daerah tersebut. Kesan pertama gw : ga kreatif !!!



Bayangkan, foto-foto yang terpampang di poster itu, masaoloh, soooo najis deh. Maksudnya, yang terpampang keliatan banget bahwa foto tersebut bukan hasil foto di studio yang bagus. Sepertinya, mereka berfoto ala kadarnya seperti pas foto di studio ecek-ecek. Aduh, bukannya menghina ya, tapi memang ada kok salah satu poster calon yang keliatan banget itu pas foto dia yang digedein super mambo jumbo. Jadinya, tampang dan ekspresi mereka ya datar-datar tanpa ekspresi dengan mata kosong gitu.



Oh, astaga, bahkan dalam proses rekrutmen dan seleksi saja, foto adalah hal yang sangat penting yang sangat mempengaruhi penilaian dari recruiter perusahaan. Pernah ngobrol-ngobrol dengan teman-teman yang bekerja sebagai HRD di perusahaan bonafide dan konsultan recruitmen and selection di perusahaan konsultan kelas wahid. Mereka berdua mengatakan, bahwa klien (maksudnya perusahaan yang mengadakan rekrutmen) terutama perbankan selalu berpesan untuk ‘mengambil’ kandidat yang penampilan oke.



Teman tersebut juga memberikan tips, supaya CV kita menarik hati recruiter (bayangkan, mereka harus menyeleksi ribuan CV yang masuk. Sepet dong, kalo mata dijubeli ‘pemandangan’ yang standar dan ga menarik). Ga usah harus secantik Cinta Laura ato Sandra Dewi, tapi menarik dan berbeda !!



Teman tersebut mencontohkan foto dari seorang pakar. Pakar tersebut ga ganteng lah, udah tuwir, tapi di foto tersebut, kesan profesional kental terasa. Pernah juga melihat cover majalah bisnis, terpampang CEO Anteve, Anindya Bakrie (kalo ga salah, CMIIW). Di cover tersebut, terasa sekali aura profesional dan pengusaha sejati (mana Anindya Bakrie itu masih muda, mapan, ganteng…uuuffffhhh^^).



** rada OOT, ngomongin efek foto. kalo kalian jai recruiter, akan milih foto pelamar yang mana ??







Jadi ??? Melihat poster-poster narsis para calon kepala daerah tersebut, kok kayaknya mereka tidak menujukkan usaha untuk memberikan citra yang ingin disampaikan kepada pemilih, ya. Pernah dengar dari dosen, Pak Djamaluddin Ancok dalam satu kuliahnya dan beberapa dosen yang lain, juga membaca artikel Rheinald Khasali setelah memberikan pelatihan di jajaran karyawan pemda Jogja, bahwa PNS atau orang-orang pemerintahan itu kreatifitasnya sangat kurang kalau tidak bisa dikatakan minim.



Ingat hal tersebut, gw sedikit banyak jadi maklum. Pantesan aja, cara-cara kampanye para calon kepala daerah, dari Presiden sampe camat, ga berubah !!!! Sekedar pasang poster dimana-mana, konvoi massa, sedikit pentas hiburan dan show off kedermawanan, umbar janji, yah gitu-gitu aja. Gak kreatif blas !!!



Keluar DIY masuk wilayah Jateng, ternyata juga lagi kampanye pilkadal. Kondisinya pun sama saja. Poster dimana-mana. Posenya agak lebih baik dari poster calon camat di Kulon Progo. Para cagub Jateng tersebut, ga sekedar memasang pas foto mereka, tapi udah bener-bener berpose di studio foto, jadi hasilnya lebih baik lah. Misal Rustriningsih (sekarang bupati Karanganyar), berpose senyum lebar dengan kostum jilbab yang modis.



Tapi, di mata gw, teuteup, caranya ga jauh beda. Pose-pose narsis semua. Sibuk nampangin wajah-wajah dan semboyan-semboyan ga jelas, macam coblos no sekian.



Lha, bener-bener kaya iklan kecap aja.



Di Jawa Barat, kondisinya pun sama saja dengan di Jateng. Pose-pose narsis. Malah sempet liat poster Agum Gumelar, posenya berbeda. Jadi dia ga sekedar nampang a la pas foto, tetapi difoto full body, sedang berjalan, mata menatap jalan, kostum hem putih dan jeans (kasual) dan salah satu tangan mencangklong seperti jaket jeans yang tergantung di pundak. Beda sih, tapi maksudnya apa ??? Yang mo disampaikan apa ??? Ga nyambung deh, kayaknya. Masih mending poster Agum yang lain, dimana dia berfoto dengan anak-anak sekolah. Antara visual (gambar) dan kalimatnya nyambung, jelas dan saling memperjelas. Di poster itu, Agum berpromosi tentang pendidikan.



Dan puncaknya adalah ketika kami pulang dari Garut via Tasikmalaya. Astaga, kami terjebak kemacetan selama dua jam karena kampanye cagub nomer satu. Walhasil, kami disuguhi tontonan tingkah polah akar rumput dalam mendukung salah satu cagub.



Kesan gw pribadi : kasihan.



Apa mereka ga kapok, jadi bulan-bulanan kampanye dan ditipu oleh janji-janji kosong kampanye ??



Apa sih, yang mereka dapatkan dengan ikut kampanye ini ??



Gw deskripsikan deh, gimana keadaannya.







Waktu itu udara panas sekali. Jalanan bener-bener macet, kendaraan menyemut. Bahkan motor pun agak kesulitan untuk terabas-terabas jalan. Sebagian peserta kampanye memakai motor, lengkap dengan atribut. Sebagian dengan kendaraan roda empat atau lebih, dan kebanyakan pick up ato truk. Jadilah peserta kampanye (remaja, dewasa, laki, perempuan, ibu-ibu, anak-anak, balita, ada yang gendong bayi segala) kepanasan di atas bak pick up ato truk, berdesak-desakan, seperti tidak memperhitungkan keselamatan. Bak pick up tersebut benar-benar over kapasitas, tapi teuteup aja cuek.



Udara panas benar-benar membuat payah. Bahkan kami yang diterpa AC pun, tidak lagi merasa nyaman dengan hembusan AC. Suara bising, debu, asap knalpot, berbaur. Ibu-ibu yang menggendong balita atau bayi, sepertinya tidak ambil pusing dengan keadaan tersebut. Anak-anak, sepertinya juga ga peduli dengan panas, keringat, dan polusi. Apalagi kaum prianya. Wajah-wajah mereka sudah kemerahan bahkan kehitaman karena gosong diterpa panas. Sebagian malah asyik joget di atas bak truk ato pick up, mengikuti irama dangdut. Para artis dangdut dengan kostum seksi juga tidak peduli dengan udara panas, terus goyang Mang…



Lapangan kampanye di pinggir jalan ternyata tidak penuh berisi warga. Karena panasnya dan minim peneduh, sebagian besar memilih asyik di jalan raya. Yang hadir di lapangan pun, memilih berteduh di bayangan kendaraan parkir ato pohon di pinggir lapangan. Lah, yang cuap-cuap di atas panggung lapangan itu, ngomong sama sapa ??



Kemudian, terdengar deru helikopter. Sesuatu dihamburkan dari atas dan disambut teriakan histeris yang di bawah. Kirain duit, ternyata sampah belaka !!! Ya, sampah, karena Cuma selebaran alias leaflet yang berisi gabar mereka (cagub) tersebut. Sementara artis-artis dangdut terus bernyanyi sambi sesekali berteriak meneriakkan nama pasangan no satu, disambut sorakan ibu-ibu yang histeris meneriakkan angka atau nama.



Astaga…. T_T



Ibu-ibu yang histeris. Gw langsung membayangkan, tontonan favorit mereka adalah sinetron TPI ato Indosiar dan reality show Mamamia ato Superseleb apalah. Hah, kok jadi ge-judge gitu >_<



Ibu-ibu itu tahu enggak sih, yang diteriakkan itu apa. Tahu enggak sih, program-program calon pemimpin yang dapat membantu mereka dalam menjalani hidup sehari-hari ??



Singkatnya, keadaan tersebut membuat gw muak sekaligus merenung. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk kampanye seperti ini ?? Andai tiap kabupaten menelan 100 juta (kayaknya lebih ya), dan 100 juta itu habis untuk membuat kaos, poster, banner, leaflet, sewa audio, sewa helikopter, bensin, minum, dll, kemana itu semua setelah kampanye berlalu ?? Apa yang didapat ??



Andai 100 juta itu digunakan untuk beasiswa 100 anak di kabupaten tersebut (jadi tiap anak dapat 1 juta). Yah bolehlah sambil panggil wartawan untuk publikasi untuk memblow up hal tersebut ke media massa sehingga masyarakat luas tahu. Apa yang didapat ?? Bisa jadi 100 calon ilmuwan untuk memajukan kabuaten tersebut.



Cara pertama berjangka pendek. Yang menikmati keuntungan hanya beberapa kalangan, dan hanya mereka saja. Kerugian (waktu, cape, produktivitas, sakit, macet, dll) tidak terhitung. Cara kedua, mungkin untuk waktu tersebut, yang menikmati hasilnya 100 keluarga anak-anak tersebut. Tetapi secara tidak langsung, tidak ada macet, tidak ada yang sakit, dll. Ke depannya, 15 tahu lagi, SDM yang kompeten berhasil diproduksi kabupaten tersebut. Apalagi jika 100 juta tersebut untuk memperbaiki infra struktur, mensubsidi kaum marginal di bidang kesehatan, dll.



Astaga …..



Oleh-oleh kedua dari Bandung tersebut, membuat gw jadi gelisah andai pilkadal jadi dilaksanakan di Jogja. Terbayang pemborosan material dan immaterial. Belum lagi hilangnya rasa nyaman dan aman ketika musim konvoi, juga sampah visual (pinjem istilah Sumbo Tinarbuko) ketika ruang publik disesaki oleh poster-poster dan tempelan-tempelan gambr para cagub. Dan lain-lain.



Aaaaaaaarrrgg…..tolak pilkadal di Jogja !!!!



Belum jadi pemimpin aja, tingkahnya kayak gitu. T_T







*** many thanks to kang Herry